Kesempatan Kedua yang Hancur

Aku tahu, seorang lumana haruslah sempurna. Lumana adalah sosok penuh kebajikan dan tidak tersentuh dosa. Bahkan Tuan Gabrion sampai memperingatkanku akan hal ini. Aku adalah perpanjangan tangan dewa.

Hanya saja, aku tidak bisa untuk tidak terjatuh dalam lubang itu. Aku justru jatuh cinta pada sesosok tenebratos, yang seharusnya menjadi musuh para lumana. Aku yakin, ini bukan tipu muslihatnya, aku yakin ia juga tulus padaku. Aku benar-benar ingin melindunginya dan terus melihatnya tertawa.

Hanya saja, semua itu telah tiada. Tenebratos manis itu sudah tidak ada. Senyumnya tidak lagi hadir untukku. Tidak ada lagi yang mengganggu hari-hariku. Tidak ada lagi wanita gila yang begitu bebas. Tenebratos yang bahkan membuat perjanjian dengan petinggi lumana, berakhir dalam kisah memilukan. 

Hatiku sepi dan begitu dingin. Lentera yang kemarin menyala kini sudah tenggelam dalam laut. Aku tahu dunia tidak sedang runtuh. Sebaliknya, ini dilakukan agar dunia tidak hancur. Hanya saja, aku bukanlah pahlawan yang akan mengorbankan satu orang demi dunia. 

Andai saja aku bisa.

Bila aku memang memiliki kekuatan untuk mengubah dunia demi bersamamu, aku akan melakukannya. Bila aku bisa bahagia bersamamu, aku akan memilih melakukan hal tersebut.

Namun, hidup terus berjalan dan semua sudah terlambat. Memangnya, aku ini siapa? Aku bukan lagi sesosok lumana. Mereka mencabut sayap-ku dari punggung-ku dan membiarkanku berkeliaran di alam fana. 

Kini, aku bukan siapa siapa. Aku bukan lagi perpanjangan tangan dewa. Aku bukan lagi sosok penuh kebajikan. Aku bukan lagi musuh utama para tenebratos. Dengan kondisiku seperti ini, seharusnya aku bisa menjalani hidup bersamamu.

Hukuman tidak dapat sembarang disebut hukuman. Tidak dapat disebut hukuman bila justru menguntungkan atau membuatku menikmatinya.

Dia telah tiada.

Selamanya aku akan terpisah dengannya. Ia berada di alam kematian. Sementara mereka yang berada di alam fana harus tetaplah hidup. Mereka akan terus berada di alam fana hingga para lumana mengantar mereka pergi. 

Aku tidak tahu yang mana yang lebih menyakitkan. Kehilangan senyumnya, kehilangan keseharianku, kehilangan alasanku berjuang; atau kehilangan kebebasanku, kehilangan sayapku, kehilangan langit. 

Aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berjalan. Mungkin baru sebentar, namun terasa seperti jutaan abad. Tidak ada yang berisik berteriak setiap paginya. Tidak ada yang menyiapkan teh terlalu manis itu. Tidak ada yang aku cemaskan maupun menyita waktuku. Tidak ada yang memberiku masalah dan pekerjaan. 

Aku… tidak mampu melakukan apapun.

Meskipun begitu, hidup terus berjalan. Aku tidak bisa berdiam diri di tempat. Aku harus bangkit dan melupakannya, bukan? Dia tidak akan ada di dunia ini lagi, aku tidak boleh terlarut begitu lama. Aku harus bergerak maju, terus melangkah, dan pada akhirnya berlari. 

Andaikan semua ini semudah mengatakannya.

Meskipun waktu lama berlalu, perkotaan nampak sama seperti biasanya. Meskipun waktu lama berlalu, luka ini tetap terbuka dan tidak kunjung sembuh. Meskipun waktu lama berlalu… kenangan ini tidak dapat dikubur begitu saja. 

Arsitektur gedung tampak sama seperti biasanya, begitu juga dengan pakaian dan aksesoris mereka. Ini adalah pertama kalinya aku berjalan diantara manusia kembali setelah sekian waktu. 

Para manusia itu berjalan menuju satu tempat. Tempat yang aku ingat sebagai alun-alun Kota Aldebert. Mereka begitu membara dan tidak sedikit dari mereka membawa senjata dan obor. Tanpa berpikir dua kali pun aku tahu apa yang terjadi. Mereka membakar seseorang yang tertangkap sebagai penyihir. Perburuan penyihir. 

Entah ia memang seorang penyihir, atau lumana yang tidak beruntung, atau mungkin juga tenebratos yang terjebak. Apapun itu, ia adalah orang yang malang. Aku turut kasihan padanya, namun aku sendiri tidak dapat berbuat apapun untuk membantunya. 

Aku pikir, mungkin aku bisa menikmati kenangan terdahulu. Jarang sekali jalan di Kota Aldebert sesepi ini. 

Namun, penyesalan selalu datang terakhir. Andai saja aku tahu kebenarannya. Andai saja aku tahu lebih cepat. Andai saja aku penasaran dan mencari tahunya. 

Penyihir yang dibakar itu memiliki rupa yang sama persis dengan tenebratos manis itu. Tidak. Bahkan menurut warga, alasannya dibakar adalah karena penyihir itu bangkit dari kematian. Penyihir itu seharusnya sudah mati dieksekusi istana. Bukankah kisah itu terdengar terlalu familier?

Aku tahu, berlari secepat mungkin tidak akan menyebabkan apapun. Namun itulah yang aku lakukan, hanya untuk melihat kematiannya kembali. Si jago merah sudah melahap tubuhnya. Warna surai itu, manik matanya yang hijau, wajah itu, dan tubuh mungilnya; tidak salah lagi, itu memang lah dia. 

Sekali lagi, aku kehilangan dirinya.

Sekali lagi, aku gagal menyelamatkannya. 

Sekali lagi, aku melihat wajah putus asa dan kesakitannya.

Sekali lagi, aku menyaksikan kematiannya.

Padahal, aku mendapat kesempatan kedua. Mengapa aku kembali kehilangannya begitu saja? 

Semua ini salahku. Maafkan aku. Maafkan aku karena sekali lagi gagal melindungimu. Maafkan aku atas segalanya. Maafkan aku karena kau harus mengalami kematian kembali.

Untuk sekarang…. Selamat tinggal, Ricia.

Kesempatan Kedua yang Hancur
Kesempatan Kedua yang Hancur